Tuesday, 15 February 2011

Pemikiran al-Jabiri beranjak dari pembongkaran (tafkik; deconstruction) tradisi (turath) Islam. Dalam kamus al-Jabiri, Islam adalah ruhnya orang-orang Arab, sebagaimana orang-orang Arab adalah materi Islam yang sebenarnya. Maka menurutnya, menjadi sebuah keniscayaan untuk menjadikan Islam sebagai fondasi bagi eksistensi Arab, yakni: Islam secara spiritual bagi Arab muslim dan Islam peradaban bagi Arab muslim dan non-muslim.-(d)-
Tradisi adalah sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita yang berasal dari masa lalu, baik itu masa lalu kita atau masa lalu orang lain, apakah yang jauh maupun yang dekat.-(e)-
التراث هو كل ما هو حاضر فينا أو معنا من الماضي , سواء ماضينا أم ماضي غيرنا , سواء القريب منه أم البعيد

Dari pengertian ini terdapat dua hal yang patut disadari: Pertama, yang menyertai kekinian dapat merupakan suatu hal yang disadari seperti tertulis dalam buku-buku maupun juga yang tidak tersadari seperti realitas sosial. Kedua, tercakup pula di dalamnya pengertian tradisi kemanusiaan (al-turath al-insani) secara luas.
Akan tetapi al-Jabiri berasumsi bahwa tradisi Arab berakar pada pemikiran-pemikiran Islam masa tadwin abad ke-2 Hijriyah sampai dengan masa kemunduran di abad ke-8 Hijriyah. Karena itulah ia kemudian memfokuskan kajiannya pada tradisi Islam yang tertulis untuk dibongkarnya.-(f)-
Menurutnya, ada dua sikap masyarakat Islam terhadap tradisi: Pertama, menolak selainnya karena dianggap telah mencukupi dan memadai. Kelompok ini memakai suatu pola pembacaan yang disebutnya al-qira'ah al-turathiyah li al-turath (telaah tradisi untuk tradisi). Kedua, menganggap tradisi tidak memadai lagi, dan karenanya perlu mengikuti pola-pola Barat untuk bangkit kembali. Pola pembacaan yang dipergunakan biasanya model al-qira'ah al-ishtiraqiyah (telaah orientalis).-(g)- Dari dua mainstream tersebut al-Jabiri coba menawarkan apa yang ia sebut al-qira'ah al-mu'ashirah (telaah kontemporer / pembacaan kekinian).-(h)-
Gagasannya ini kemudian ia wujudkan dalam proyek prestisius yang kemudian mampu melambungkan namanya dalam peta pemikir muslim kenamaan abad ini, yaitu Kritik Nalar Arab (naqd al-'aql al-'arabi).-(i)- Proyek tersebut kemudian membuahkan tiga buah buku: Takwin al-'Aql al-'Arabi, Bunyat al-'Aql al-'Arabi: Dirasah Tahliliyah li Nuzum al-Ma'rifah fi al-Thaqafah al-'Arabiyah, dan al-'Aql al-Siyasi al-'Arabi: Muhaddidatuh wa Tajalliyatuh.-(j)-
Al-Jabiri tidak berhenti di situ, tetapi ia pun mengelaborasi gagasannya dengan merumuskan metode yang menjelaskan operasionalisasi kerjanya al-qira'ah al-mu'ashirah.

                Pertama, fashl al-maqru' 'an al-qari' untuk mencapai obyektivitas (maudu'iyah). Fase ini meliputi dua langkah penting:
1.       Memisahkan hubungan pembaca dengan teks untuk menghindari masuknya interes-interes dan persoalan kekinian dalam pembacaan dan penggalian makna. Sebab hal itu berpotensi menggiring seorang pembaca untuk melakukan idealisasi masa lalu melalui kacamata masa kini. Dan bisa juga tergelincir untuk menyelesaikan persoalan kekinian di masa lalu.
  1. Memisahkan teks dari pembaca dengan membedah konstruk pemikiran teks itu sendiri sehingga terang akar idenya. Teks kemudian dioperasi dengan analisis historis buat menguak setting sosial, politik, dan budaya sesungguhnya. Akhirnya teks juga perlu dibongkar fungsi ideologisnya ketika ia 'dimainkan' pada zamannya.
Kedua, washl al-qari' bi al-maqru' untuk menemukan kesinambungan (istimrariyah) suatu teks dengan konteks kekinian. Maksudnya, pembaca seharusnya mampu melihat bagaimana suatu tradisi yang terepresentasi oleh teks dapat hadir atau sebaliknya tidak hadir dalam kekiniannya. Sehingga pembaca dapat mengambil starting point dari 'kerangka ideologis mana' ia bergerak untuk merekonstruksi tradisi yang ada saat ini.-(k)-
Singkat kata, al-qira'ah al-mu'ashirah diorientasikan untuk fungsi pengambilan manfaat (al-istithmar) dari tradisi guna beroleh ilham pembaharuan-(l)- yang otentik.
Terkait isu otentisitas (ashaliyah), al-Jabiri memetakan epistemologi pemikiran Arab Islam ke dalam tiga kerangka umum: deskriptif (bayani), demonstratif (burhani), dan gnostik ('irfani).-(m)- Dari ketiganya, al-Jabiri menilai bahwa harapan pengembangan tradisi nalar Arab ke depan harus dimulai dari tradisi burhani. Menurutnya, wacana al-Qur'an adalah wacana akal, bukan wacana gnostik, irfani, atau iluminasi. Lebih lanjut, karakter burhani yang rasional-empirik, berpotensi kuat melepaskan nalar Arab dari tiga kekuasaan yang membelenggunya selama ini, yaitu: kata (al-lafdh), asal (al-ashl), dan serba kemungkinan (al-tajwiz).-(n)-
Fungsionalisasi nalar burhani, yang akarnya dapat dilacak hingga kepada Ibn Rushd,-(o)- terlihat memperoleh pengokohan pijakan argumentatif ketika al-Jabiri mengelaborasinya dengan mengintrodusir kerangka pemikiran usuli dari al-Shatibi. Berbeda dengan al-Shafi'i yang beranjak dari upaya penemuan 'illah dan penerapan analogi (qiyas) dengan menelusuri makna kata-kata (yang khas merupakan karakter nalar bayani, yang bagi al-Jabiri, masih terkungkung tiga pasungan kekuasaan di atas), maka al-Shatibi justru melangkah dari tujuan-tujuan (maqasid) al-shari'ah sebagai upaya pemberian dasar rasionalitas atas hukum-hukum.-(p)- Adapun prinsip umumnya adalah kemaslahatan (al-mashlahah) manusia, yang diurai lebih lanjut menjadi tiga macam: elementer (daruriyat), komplementer (hajjiyat), dan suplementer (tahsiniyat).-(q)-
Di sini al-Shatibi tampak menyadari bahwa ijtihad dengan cara lama telah mengalami kebuntuan. Adapun kerangka 'membuka kembali pintu ijtihad' tidak lain adalah dengan 'membangun kembali prinsip-prinsip'. Yaitu dengan berpegang kepada nilai-nilai universal dan tujuan-tujuan shari'at sebagai pengganti dari tindakan membatasi diri pada upaya memahami kata-kata dari teks-teks dan menemukan hukum-hukum daripadanya, serta melakukan analogi satu peristiwa dengan peristiwa lainnya dalam hal tidak adanya keterangan teksnya (nushush).-(r)-
Dari sinilah al-Jabiri seolah berkeras hati menyokong perlunya nalar baru untuk pembaruan yang berarti bagi tradisi nalar Arab. Katanya, "Tanpa nalar yang baru tidak akan mungkin muncul ijtihad baru."-(s)- Jadi, mau tak mau, keterbukaan sikap diperlukan bagi nalar Arab agar ia sanggup menghadapi keterbukaan peradaban yang ada. Ia berkata, "Kebutuhan mendesak (sekarang ini) adalah kebutuhan akan pengukuhan 'periode penulisan baru' di rumah ijtihad, satu periode penulisan yang titik tolaknya adalah 'ijtihad yang mendampingi', yakni mendampingi kehidupan kontemporer, dan ia pertama-tama adalah masalah metode … masalah perilaku nalar."

by : DIDIK ANDREW

0 comments:

Post a Comment

terimakasih ^_^