Arus modernisasi yang berkembang di masyarakat, menuntut laki-laki dan perempuan untuk bekerja lebih produktif. Tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan bahkan pengaruh gaya hidup materialis-konsumtif yang hampir melanda semua orang pada gilirannya telah “memaksa” kaum perempuan untuk bekerja ganda. Selain mengurusi pekerjaan rumah tangga, mereka juga bekerja mencari nafkah di luar. Keterlibatan perempuan untuk turut serta dalam pencarian nafkah keluarga sudah menjadi sebuah keniscayaan. Namun tak jarang ini terbentur dengan norma-norma sosial keagamaan yang sudah lebih dulu berlaku di masyarakat.
Sudah terlanjur mengendap lama di alam bawah sadar masyarakat, bahwa dalam rumah tangga, suami merupakan pemimpin bagi istrinya, dan ini menghasilkan konsekuensi bahwa otoritas tertinggi di dalam rumah tangga dipegang oleh suami dan istri wajib untuk mematuhinya. Dalil-dalil agama pun kerap digunakan untuk memperkuat anggapan ini sehingga dapat mengakar kuat di benak masyarakat.
Salah satu dalil agama yang seringkali dijadikan bahan perdebatan dalam persoalan ini adalah Q.S al-Nisa: 34 yang secara tekstual tampak mensubordinatkan perempuan yang menunjukkan superioritas laki-laki atas perempuan yang berbunyi. al-rijālu qawwāmūna ‘ala al-nisā’ yang artinya dalam terjemahan versi Depag “kaum laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Sedangkan versi Abdullah Yusuf Ali “pelindung”.
Bagi Nasaruddin Umar, ayat al-rijālu qawwāmūna ‘ala al-nisā’ tidak dapat dipahami semata-mata sebagai dalil bahwa laki-laki lebih superior dibanding perempuan. Kata al-rijāl dan al-nisā’ dalam ayat tersebut tidak dapat diartikan sebagai laki-laki atau perempuan secara umum. Al-Qur’an sendiri tidak selamanya menggunakan redaksi kata yang sama dalam menyebutkan identitas laki-laki atau perempuan di dalam al-Qur’an. Nasaruddin menyatakan bahwa ada tiga istilah yang digunakan untuk menunjuk langsung kepada laki-laki dan perempuan: (1) al-rijāl dan al-nisā’ (2) al-żakar dan al-unṡā, dan (3) al-mar’u/al-imru dan al-mar’ah/al-imra’ah. Seorang laki-laki disebut dengan al-rajūl (jamak: al-rijāl) dan perempuan disebut dengan al-nisā’ manakala memenuhi kriteria sosial dan budaya tertentu, seperti berumur dewasa, telah berumah tangga, atau telah memiliki peran tertentu di dalam masyarakat. Sedangkan penggunaan kata al-żakar dan al-unṡā dalam al-Qur’an menunjukkan laki-laki dan perempuan yang mengacu pada faktor seksual-biologis.
Sesuai dengan konteks ayat ini, keutamaan lagi-laki dihubungkan dengan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga. Peristiwa yang melatarbelakangi (sabab al-nuzūl) Q.S. al-Nisā’: 34 ialah ketika Sa‘ad ibn al-Rabī‘, seorang petinggi Ansar, menampar istrinya. Istrinya yang tidak terima diperlakukan seperti itu –perempuan-perempuan di Madinah tidak terlalu mengalami inferiorisasi akibat budaya jahiliah sebagaimana yang dialami perempuan-perempuan di Mekkah, sehingga mereka punya sedikit keberanian untuk melawan jika diperlakukan secara tidak adil termasuk oleh suaminya sendiri seperti contoh kasus ini– mengadukan hal ini kepada Nabi. Reaksi Nabi pada mulanya ialah menyuruh si perempuan untuk membalas perbuatan suaminya (baca: qiṣāṣ). Tetapi karena hal ini menimbulkan kegemparan di masyarakat di mana kaum laki-laki memiliki kuasa penuh, maka ayat tersebut turun sebagai nasehat yang menenangkan untuk mengontrol kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan dan menasehati perempuan untuk menyesuaikan diri dimasyarakat yang secara absolut didominasi laki-laki. Dengan demikian, berdasarkan sabab al-nuzūlnya ayat ini merujuk kepada superioritas laki-laki yang berlaku pada konteks tertentu dan tidak memiliki relevansi untuk menundukkan atau menindas perempuan.
Dengan demikian, laki-laki yang merupakan qawwām bagi perempuan ialah laki-laki yang memiliki keutamaan yang dihubungkan dengan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga –otomatis ke- qawwām-an laki-laki pada ayat ini terletak pada sektor domestik, bukan publik–. Sehingga ayat ini tidak dapat dijadikan dalil bahwa otoritas tertinggi dalam keluarga mutlak dipegang oleh laki-laki (baca: suami). Nasaruddin mengutip penafsiran Muḥammad ‘Abduh dalam al-Manār-nya yang tidak memutlakkan kepemimpinan kepemimpinan laki-laki atas perempuan, karena ayat tersebut (baca: al-Nisā’: 34) tidak menyatakan kelebihan laki-laki dengan “bi mā faḍalahum ‘alaihinna” atau “bi tafḍīlihim ‘alaihinna” yang berarti “karena Allah memberi kelebihan kepada laki-laki”, melainkan dengan “bi mā faḍḍala Allāhu ba‘ḍahum ‘alā ba‘ḍ” yang berarti “karena Allah memberikan kelebihan kepada sebagian mereka atas sebagian yang lain”. Jika dikaitkan dengan redaksi setelahnya dalam ayat ini yaitu wa bi mā anfaqū min amwālihim, laki-laki yang menjadi qawwām bagi perempuan adalah laki-laki (suami) yang menafkahkan hartanya kepada istrinya. Maka ketika dalam sebuah keluarga yang berperan dalam pencarian nafkah ialah perempuan, maka perempuan yang memiliki kelebihan atas laki-laki.
Berdasarkan argumen yang dipaparkan oleh Nasaruddin tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan kata al-rijāl dan al-nisā’ pada Q.S. al-Nisā’: 34 tersebut harus dimaknai sebagai kata yang digunakan untuk menyatakan hal-hal yang berhubungan dengan fungsi dan relasi gender. Dengan demikian konsep dan manifestasi dari relasi gender lebih dinamis serta fleksibel dengan mempertimbangkan faktor sosio-kultural yang berkembang. Maka bisa saja seseorang yang secara biologis dikategorikan sebagai perempuan, tetapi dari sudut pandang gender dapat berperan sebagai laki-laki atau sebagai perempuan. Misalnya, karena sesuatu dan lain hal seorang suami lebih memilih bekerja di rumah mengasuh anak dan mengurusi pekerjaan rumah tangga, maka dari segi relasi gender ia telah mengambil peran sebagai perempuan meskipun dari segi seksual ia adalah laki-laki. Sebaliknya, sang istri yang karena keterampilan yang dimilikinya dan atas kesepakatan bersama lebih memilih memilih mencari nafkah di luar rumah atau berkarir di bidang politik, maka ia telah berperan sebagai laki-laki.
Jadi kesimpulan akhirnya laki-laki dan perempuan memang secara seksual-biologis berbeda, namun suatu keniscayaan bagi perempuan untuk melakukan pekerjaan yang dari kacamata gender itu dikerjakan oleh laki-laki, karena dalam kehidupan masyarakat modern tidak selamanya laki-laki (suami) lebih unggul dibanding perempuan (istri). Secara normatif laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama untuk menjadi pemimpin sesuai kapasitas yang dimilikinya. Oleh karena itu, Nasaruddin mencoba mengingatkan kembali bahwa istilah-istilah yang digunakan al-Qur’an untuk menunjuk kepada laki-laki dan perempuan harus dibedakan antara istilah yang menunjuk kategori seksual-biologis dan istilah lain yang menunjuk pada konsep gender. Namun dalam penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an kedua kategori ini seringkali dikaburkan.
Sudah terlanjur mengendap lama di alam bawah sadar masyarakat, bahwa dalam rumah tangga, suami merupakan pemimpin bagi istrinya, dan ini menghasilkan konsekuensi bahwa otoritas tertinggi di dalam rumah tangga dipegang oleh suami dan istri wajib untuk mematuhinya. Dalil-dalil agama pun kerap digunakan untuk memperkuat anggapan ini sehingga dapat mengakar kuat di benak masyarakat.
Salah satu dalil agama yang seringkali dijadikan bahan perdebatan dalam persoalan ini adalah Q.S al-Nisa: 34 yang secara tekstual tampak mensubordinatkan perempuan yang menunjukkan superioritas laki-laki atas perempuan yang berbunyi. al-rijālu qawwāmūna ‘ala al-nisā’ yang artinya dalam terjemahan versi Depag “kaum laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Sedangkan versi Abdullah Yusuf Ali “pelindung”.
Bagi Nasaruddin Umar, ayat al-rijālu qawwāmūna ‘ala al-nisā’ tidak dapat dipahami semata-mata sebagai dalil bahwa laki-laki lebih superior dibanding perempuan. Kata al-rijāl dan al-nisā’ dalam ayat tersebut tidak dapat diartikan sebagai laki-laki atau perempuan secara umum. Al-Qur’an sendiri tidak selamanya menggunakan redaksi kata yang sama dalam menyebutkan identitas laki-laki atau perempuan di dalam al-Qur’an. Nasaruddin menyatakan bahwa ada tiga istilah yang digunakan untuk menunjuk langsung kepada laki-laki dan perempuan: (1) al-rijāl dan al-nisā’ (2) al-żakar dan al-unṡā, dan (3) al-mar’u/al-imru dan al-mar’ah/al-imra’ah. Seorang laki-laki disebut dengan al-rajūl (jamak: al-rijāl) dan perempuan disebut dengan al-nisā’ manakala memenuhi kriteria sosial dan budaya tertentu, seperti berumur dewasa, telah berumah tangga, atau telah memiliki peran tertentu di dalam masyarakat. Sedangkan penggunaan kata al-żakar dan al-unṡā dalam al-Qur’an menunjukkan laki-laki dan perempuan yang mengacu pada faktor seksual-biologis.
Sesuai dengan konteks ayat ini, keutamaan lagi-laki dihubungkan dengan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga. Peristiwa yang melatarbelakangi (sabab al-nuzūl) Q.S. al-Nisā’: 34 ialah ketika Sa‘ad ibn al-Rabī‘, seorang petinggi Ansar, menampar istrinya. Istrinya yang tidak terima diperlakukan seperti itu –perempuan-perempuan di Madinah tidak terlalu mengalami inferiorisasi akibat budaya jahiliah sebagaimana yang dialami perempuan-perempuan di Mekkah, sehingga mereka punya sedikit keberanian untuk melawan jika diperlakukan secara tidak adil termasuk oleh suaminya sendiri seperti contoh kasus ini– mengadukan hal ini kepada Nabi. Reaksi Nabi pada mulanya ialah menyuruh si perempuan untuk membalas perbuatan suaminya (baca: qiṣāṣ). Tetapi karena hal ini menimbulkan kegemparan di masyarakat di mana kaum laki-laki memiliki kuasa penuh, maka ayat tersebut turun sebagai nasehat yang menenangkan untuk mengontrol kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan dan menasehati perempuan untuk menyesuaikan diri dimasyarakat yang secara absolut didominasi laki-laki. Dengan demikian, berdasarkan sabab al-nuzūlnya ayat ini merujuk kepada superioritas laki-laki yang berlaku pada konteks tertentu dan tidak memiliki relevansi untuk menundukkan atau menindas perempuan.
Dengan demikian, laki-laki yang merupakan qawwām bagi perempuan ialah laki-laki yang memiliki keutamaan yang dihubungkan dengan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga –otomatis ke- qawwām-an laki-laki pada ayat ini terletak pada sektor domestik, bukan publik–. Sehingga ayat ini tidak dapat dijadikan dalil bahwa otoritas tertinggi dalam keluarga mutlak dipegang oleh laki-laki (baca: suami). Nasaruddin mengutip penafsiran Muḥammad ‘Abduh dalam al-Manār-nya yang tidak memutlakkan kepemimpinan kepemimpinan laki-laki atas perempuan, karena ayat tersebut (baca: al-Nisā’: 34) tidak menyatakan kelebihan laki-laki dengan “bi mā faḍalahum ‘alaihinna” atau “bi tafḍīlihim ‘alaihinna” yang berarti “karena Allah memberi kelebihan kepada laki-laki”, melainkan dengan “bi mā faḍḍala Allāhu ba‘ḍahum ‘alā ba‘ḍ” yang berarti “karena Allah memberikan kelebihan kepada sebagian mereka atas sebagian yang lain”. Jika dikaitkan dengan redaksi setelahnya dalam ayat ini yaitu wa bi mā anfaqū min amwālihim, laki-laki yang menjadi qawwām bagi perempuan adalah laki-laki (suami) yang menafkahkan hartanya kepada istrinya. Maka ketika dalam sebuah keluarga yang berperan dalam pencarian nafkah ialah perempuan, maka perempuan yang memiliki kelebihan atas laki-laki.
Berdasarkan argumen yang dipaparkan oleh Nasaruddin tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan kata al-rijāl dan al-nisā’ pada Q.S. al-Nisā’: 34 tersebut harus dimaknai sebagai kata yang digunakan untuk menyatakan hal-hal yang berhubungan dengan fungsi dan relasi gender. Dengan demikian konsep dan manifestasi dari relasi gender lebih dinamis serta fleksibel dengan mempertimbangkan faktor sosio-kultural yang berkembang. Maka bisa saja seseorang yang secara biologis dikategorikan sebagai perempuan, tetapi dari sudut pandang gender dapat berperan sebagai laki-laki atau sebagai perempuan. Misalnya, karena sesuatu dan lain hal seorang suami lebih memilih bekerja di rumah mengasuh anak dan mengurusi pekerjaan rumah tangga, maka dari segi relasi gender ia telah mengambil peran sebagai perempuan meskipun dari segi seksual ia adalah laki-laki. Sebaliknya, sang istri yang karena keterampilan yang dimilikinya dan atas kesepakatan bersama lebih memilih memilih mencari nafkah di luar rumah atau berkarir di bidang politik, maka ia telah berperan sebagai laki-laki.
Jadi kesimpulan akhirnya laki-laki dan perempuan memang secara seksual-biologis berbeda, namun suatu keniscayaan bagi perempuan untuk melakukan pekerjaan yang dari kacamata gender itu dikerjakan oleh laki-laki, karena dalam kehidupan masyarakat modern tidak selamanya laki-laki (suami) lebih unggul dibanding perempuan (istri). Secara normatif laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama untuk menjadi pemimpin sesuai kapasitas yang dimilikinya. Oleh karena itu, Nasaruddin mencoba mengingatkan kembali bahwa istilah-istilah yang digunakan al-Qur’an untuk menunjuk kepada laki-laki dan perempuan harus dibedakan antara istilah yang menunjuk kategori seksual-biologis dan istilah lain yang menunjuk pada konsep gender. Namun dalam penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an kedua kategori ini seringkali dikaburkan.
Sumber:
Nasaruddin
Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’ān
al-Zamakhsyarī,
Tafsīr al-Kasysyāf
Jalāl
al-Dīn al-Suyūṭī, Lubāb
al-Nuqūl fī Asbāb
al-Nuzūl
al-Wāḥidī
al-Naisābūrī, Asbāb
al-Nuzūl
Abdullah Yusuf
Ali dalam The Holy Qur’an
Al-Qur’an Terjemahan Departemen Agama.
ilustrasi: Pemimpin Perempuan di Indonesia Sumber: Google |
menenangkan ya bukan menghebohkan. bahkan hingga kini pun masyarakat tetap perlu fatwa yang menenangkan.
ReplyDeleteoya, sehubungan dengan pembahasan peran laki-laki dan perempuan, rasanya caption foto lebih tepat jika digunakan istilah 'perempuan pemimpin' daripada 'pemimpin perempuan'. cmiiw.
Makasih masukannya mbak
Deletemas adib.. aku kalau liat tulisan seperti ini... teringat saat aku ikut mtq cabang m2iq.. tapi tulisan ini bahkan lebih bagus walaupun ringkas.. :)
ReplyDeleteWah pernah ikut MTQ ya.. Bagus itu. Hehe
DeleteSaya termasuk blogger di bawah umur, mungkin kalau ibu ibu sekedar membantu bapak bapak saya rasa nggak masalah...heehehe .salam
ReplyDeleteInjih. Ga ada yg dipermasalahkan
Delete