Monday, 18 January 2016



Ini kisah sering sekali diceritakan di pesantren-pesantren maupun di pengajian-pengajinan ketika menyangkut tentang pembahasan arti sebuah keikhlasan. Rasaya tidak perlu saya jelaskan tentang hakikat ikhlas—apa itu ikhlas, bagaimana caranya agar seseorang harus ikhlas, bagaimana anjuran dalam agama tentang ikhlas—karana bisa jadi itu bisa menjadi satu makalah utuh untuk menjelaskannya. Yang jelas setiap agama menganjurkan umatnya untuk ikhlas tanpa pamrih dalam bertindak.
Suatu hari di sebuah lingkungan pesantren besar di suatu desa, hidup keluarga petani yang punya sawah  dan kebun yang tak begitu luas. Panggil saja “Zaidun” (dipanggil : Zaid) Zaid bersama keluarganya hidup pas-pasan tapi ia tak pernah mengeluh akan keterbatasannya, justru ia bersyukur atas segala yang ia punya dan tak pernah kelihatan susah dalam hidupnya.
Suatu hari Zaid pulang dari kebun dengan wajah sumringah karena habis panen singkong dari kebun dengan hasil panen yang lumayan banyak, cukup untuk keperluan konsumsi beberapa hari. Ia disambut istrinya Aisyah juga dengan wajah sumringah.
Zaid : “Buk… Alhamdulillah, pakne panen telo, lumayan akeh, cukup kanggo maem, kanggo persediaan gawe sego gaplek. ”(Alhamdulillah bapak panen singkong, cukup buat makan sama persediaan nasi gaplek)
Aisyah : “Alhamdullah pak.
Zaid : “hek’eh buk… Buk iki telo ne tak sisihne sak kampli, are tak wehno neng Mbah Yai, itung-itung syukuran kanggo panenan, syukur-syukur iso kanggo maem santri” (iya buk.. bu ini singkongnya aku pisahkan sekarung, mau kuberikan ke Mbah Yai, itung-itung buat syukuran panenan, syukur-syukur kalo nanti juga dibuat makan para santri)
Aisyah : “injih pak..” (iya pak)
Zaid : “yowes, pakne tak adus sek, asharan trus dolen neng pondok, ate sowan Mbah Yai” (Yaudah, bapak mau mandi dulu, Asharan terus ke pondok mau sowan Mbah Yai)
            Selesai mandi, sholat ashar Zaid bergegas ke pondok dengan sekarung singkongnya untuk dia berikan ke Mbah Yai. Sesampainya di pondok Zaid langsung menuju ndalem’e Mbah yai. Ia dipersilahkan oleh kang-kang (santri putra) pondok. Tak lama menunggu di ruang tamu, Mbah Yai pun datang, Zaid menyapa Mbah Yai dengan salam sambil duduk mendekat dengan kursi Mbah Yai.
Zaid: “Assalamu’alaikum Mbah Yai
Mbah Yai : “Wa’alaikumussalam. Ono opa nang,,?” (ada apa nak)
Zaid : “Mboten wonten nopo-nopo mbah, namung badhe silaturahim, kalihan bade maringi niki, kulo nembe panen telo niki mbah, itung-itung niki syukuran kulo ba’do panenan, mbok menawi saget damel santri-santri ten pondok, nopo damel konsumsi pengajian ten pondok” (tidak apa-apa mbah, Cuma ingin silaturahmi, sama ingin ngasih ini -singkong- itung-itung buat syukuran panen singkong saya, mungkin nanti bisa untuk santri-santri di pondok atau untuk konsumsi pengajian di pondok.)
Mbah Yai : “Wah hek’eh nang, tak tompo shodaqohmu. Wah mbah ki ra iso mbales opo-opo ki mugi paringan berkah rejekimu, ojo lali syukur marang Gusti kang maringi sampean rejeki sehat, kesempatan karo rejeki bondo nduyo” (iya nak, saya terima sodaqahmu, wah mbah tidak bisa bales apa-apa, ya semoga diberikan keberkahan rezeki, jangan lupa syukur kepada Tuhan yang sudah memberimu rezeki kesehatan, kesempatan dan rezeki harga dunia)
Zaid mengangguk-angguk takdzim mendengarkan nasehat-nasehat Mbah Yai. Tak lama kemudian Mbah Yai memanggil salah satu santri dan membisikkan santri. Zaid masih menunduk dan ia tak tau apa yang dibicarakan Mbah Yai pada santrinya. Satrinya kemudian keluar dan tak lama kembali bawa seekor anak kambing yang ia tali di bawah pohon di depan rumah Kiai.
Mbah yai : “nang, aku ra iso mbales opo-opo, nanging kae neng ngarepan onok ‘cempe’, gawanen mulih, mung kui sing iso tak kekno sliramu, gowonen mulih sopo ngerti sok mben manak akeh iso dadi manfaat. Rasah di tolak, kui rejeki soko Gusti, iki cempe mung siji, sing maringi bapak e thole mau, aku wes ra sempet ngrumat wedhus. Ngrumat santri wae wes cukup ” (nak, aku gak bisa balas apa-apa, tapi itu di depan ada cempe –anak kambing-, kamu bawa pulang aja, siapa tau nanti bisa beranak pinak dan bisa bermanfaat. Jangan ditolak, itu rejeki dari Tuhan, ini anak kambing cuma satu dari orang tua anak tadi—yang tadi dipanggil. Aku udah gak sempat ngerawat anak kambing, cukup ngerawat santri saja)
Zaid : “injih Mbah, matur nuwun, mugi kulo saget ngrumat cempe niki. Sekalian bade pamit Mbah Yai” (Iya Mbah, terimakasih, semoga saya bisa merawat anak kambing ini. Sekalian mau pamit Mbah Yai)
Zaid berjabat tangan dengan Mbah Yai, kemudian salam dan pulang ke rumah membawa seokor anak kambing.
            Di perjalanan pulang Zaid bertemu dengan Yatno seorang Blantik (penjual hewan). Yatno bertanya pada Zaid perihal keperluannya dia dari pesantren. Zaid mencertakan keperluannya ke pesantren dan ia cerita kalau Mbah Yai memberikan dia seekor kambing untuk dia pelihara. Tiba-tiba muncul di benak Yatno “wah kalau Zaid aja ngasih singkong diberi anak kambing, kalo aku ngasih kambing yang sehat dan gemuk, pasti dikasih sapi sama pak yai.” Yatno segera bergegas pulang mengambil kambingnya yang paling gemuk dan sehat ke Mbah yai.
            Sesampainya di pondok pesantren Yatno ketemu dengan Mbah Yai dengan membawa kambingnya paling besar dan sehat
Mbah Yai: “Ono opo nang?” (ada apa nak?)
Yatno : “Mboten wonten nopo-nopo mbah, namung badhe silaturahim, kalihan bade maringi niki, sapi-sapi kulo kaleh mendho kulo laku kathah, itung-itung niki syukuran mbah, mbok menawi saget damel santri-santri ten pondok, nopo damel konsumsi pengajian ten pondok”( tidak apa-apa mbah, Cuma ingin silaturahmi, sama ingin ngasih ini -kambing- sapi-sapi saya dan kambing saya laku banyak. Itung-itung niki damel syukuran mbah. mungkin nanti bisa untuk santri-santri di pondok atau untuk konsumsi pengajian di pondok.)
Mbah Yai: “yo le,, tak tampi shodaqohmu. Alhamdulilah. Mugo-mugo berkah, kebetulan sesuk are enek pengajian masyarakat neng pondok, sesuk ben di beleh santri-santri kanggo konsumsi pengajian masyarakat lan santri-santri. Ben pisan-pisan santri yo mangan enak le. Maturnuwun yo.. mbah ra iso mbales opo-opo, sek ditunggu dilute. ” (Ya, aku terima shodaqahmu, Alhamdulillah, semoga berkah, kebetulan besok mau ada pengajian masyarakat di pondok, besok biar disembelih santri-santri buat konsumsi pengajian. Biar sesekali santri biar makan enak. Terimakasih nak, mbah tidak bisa balas apa-apa, tunggu sebentar)
Tiba-tiba Mbah Yai ke belakang, pikiran Yatno udah tidak karuan berharap mbah Yai memberikan sesuatu yang lebih dari apa yang dia kasih. Dan tak lama kemudian mbah Yai kembali membawa sesuatu di kantong plastik hitam. Pikiran Yatno mulai berubah tapi ia meyakinkan kalau yang di kantong plastik hitam itu lebih berharga dari kambing besar yang ia berikan tapi apa? Ia bingung. Mbah yai duduk, si Yanto tersenyum lebar sambil penasaran sama yang dibawa mbah yai
Mbah yai: “Iki le onok telo, sakthik menowo engko neng omah iso digodhok utowo digoreng, lumayan kanggo nyamik’an neng omah, kimau si Zaed bar panenan, gowo telo sak kampli, syukuran jare. Wes mugo-mugo rejekine berkah, yo Zaed ugo sliramu, ojo lali syukur marang Gusti ” (ini ada singkong, dikit mungkin nanti di rumah bisa direbus atau digoreng, lumayan buat kudapan di rumah. Ini tadi Zaid abis panenan, bawa singkong sekarung, buat syukuran katanya. Ya semoga rejeki kalian berkah. Jangan lupa bersyukur pada Tuhan)
Yatno: “injih yai, amin, kulo bade pamit” (iya yai, amin, saya mau pamit)
Yatno beranjak berdiri dan senyum bersalaman dengan Kiai, kemudian beranjak pergi dengan membawa sekantong plastik singkong dengan ekspresi 180 derajat berbeda ketika di depan Kiai,  muka masam dan penuh penyesalan.

Sekian.

Ini cerita yang sering sekali saya dengar ketika di pesantren dan ketika ada pengajian yang membahas tentang Ikhlas. Apa hikmah dibalik cerita ini? Monggo dishare, berbagi lewat kolom komentar


Terimakasih.
Adibriza
Dokumentasi Pribadi saat pengajian di Rumah, di Pondok Pesantred Darul Ulum, Sanggrahan , Gondang, Nganjuk

4 comments:

  1. Waduh basa jawanya keren. Mpok jadi rada keder dah. Untung ada translet nyah.

    Ikhlas itu pelajaran yang harus ditempuh seumur hidup.

    ReplyDelete
  2. Belajar memberi tanpa berharap mendapatkan balasan. Kalaupun mendapatkan balasan, apa pun itu harus diterima dengan senang hati. Namanya rezeki, besar atau kecil harus disyukuri :)

    ReplyDelete
  3. Ilmu iklas memang suliiit banget untuk dipelajari dan diamalkan. Nice story!

    Twitter @nurulrahma

    ReplyDelete
  4. Semua itu dari niat, ya. Kalau niatnya baik pasti akan berbuah baik. :)

    ReplyDelete

terimakasih ^_^