Ini kisah
sering sekali diceritakan di pesantren-pesantren maupun di pengajian-pengajinan
ketika menyangkut tentang pembahasan arti sebuah keikhlasan. Rasaya tidak perlu
saya jelaskan tentang hakikat ikhlas—apa itu ikhlas, bagaimana caranya agar
seseorang harus ikhlas, bagaimana anjuran dalam agama tentang ikhlas—karana
bisa jadi itu bisa menjadi satu makalah utuh untuk menjelaskannya. Yang jelas
setiap agama menganjurkan umatnya untuk ikhlas tanpa pamrih dalam bertindak.
Suatu
hari di sebuah lingkungan pesantren besar di suatu desa, hidup keluarga petani
yang punya sawah dan kebun yang tak
begitu luas. Panggil saja “Zaidun” (dipanggil : Zaid) Zaid bersama keluarganya
hidup pas-pasan tapi ia tak pernah mengeluh akan keterbatasannya, justru ia
bersyukur atas segala yang ia punya dan tak pernah kelihatan susah dalam
hidupnya.
Suatu
hari Zaid pulang dari kebun dengan wajah sumringah karena habis panen
singkong dari kebun dengan hasil panen yang lumayan banyak, cukup untuk
keperluan konsumsi beberapa hari. Ia disambut istrinya Aisyah juga dengan wajah
sumringah.
Zaid : “Buk… Alhamdulillah,
pakne panen telo, lumayan akeh, cukup kanggo maem, kanggo persediaan gawe sego
gaplek. ”(Alhamdulillah bapak panen singkong, cukup buat makan sama
persediaan nasi gaplek)
Aisyah : “Alhamdullah pak. ”
Zaid : “hek’eh buk… Buk iki
telo ne tak sisihne sak kampli, are tak wehno neng Mbah Yai, itung-itung
syukuran kanggo panenan, syukur-syukur iso kanggo maem santri” (iya buk..
bu ini singkongnya aku pisahkan sekarung, mau kuberikan ke Mbah Yai,
itung-itung buat syukuran panenan, syukur-syukur kalo nanti juga dibuat makan
para santri)
Aisyah : “injih pak..” (iya
pak)
Zaid : “yowes, pakne tak adus
sek, asharan trus dolen neng pondok, ate sowan Mbah Yai” (Yaudah, bapak mau
mandi dulu, Asharan terus ke pondok mau sowan Mbah Yai)
Selesai mandi, sholat ashar Zaid
bergegas ke pondok dengan sekarung singkongnya untuk dia berikan ke Mbah Yai.
Sesampainya di pondok Zaid langsung menuju ndalem’e Mbah yai. Ia
dipersilahkan oleh kang-kang (santri putra) pondok. Tak lama
menunggu di ruang tamu, Mbah Yai pun datang, Zaid menyapa Mbah Yai dengan salam
sambil duduk mendekat dengan kursi Mbah Yai.
Zaid: “Assalamu’alaikum
Mbah Yai”
Mbah Yai
: “Wa’alaikumussalam. Ono opa nang,,?” (ada apa nak)
Zaid : “Mboten wonten nopo-nopo mbah, namung badhe silaturahim,
kalihan bade maringi niki, kulo nembe panen telo niki mbah, itung-itung niki
syukuran kulo ba’do panenan, mbok menawi saget damel santri-santri ten pondok,
nopo damel konsumsi pengajian ten pondok” (tidak apa-apa mbah, Cuma ingin
silaturahmi, sama ingin ngasih ini -singkong- itung-itung buat syukuran panen
singkong saya, mungkin nanti bisa untuk santri-santri di pondok atau untuk
konsumsi pengajian di pondok.)
Mbah Yai : “Wah hek’eh nang, tak tompo shodaqohmu. Wah mbah ki ra iso
mbales opo-opo ki mugi paringan berkah rejekimu, ojo lali syukur marang Gusti
kang maringi sampean rejeki sehat, kesempatan karo rejeki bondo nduyo” (iya
nak, saya terima sodaqahmu, wah mbah tidak bisa bales apa-apa, ya semoga
diberikan keberkahan rezeki, jangan lupa syukur kepada Tuhan yang sudah
memberimu rezeki kesehatan, kesempatan dan rezeki harga dunia)
Zaid
mengangguk-angguk takdzim mendengarkan nasehat-nasehat Mbah Yai. Tak
lama kemudian Mbah Yai memanggil salah satu santri dan membisikkan santri. Zaid
masih menunduk dan ia tak tau apa yang dibicarakan Mbah Yai pada santrinya.
Satrinya kemudian keluar dan tak lama kembali bawa seekor anak kambing yang ia
tali di bawah pohon di depan rumah Kiai.
Mbah yai : “nang, aku ra iso mbales opo-opo, nanging kae neng
ngarepan onok ‘cempe’, gawanen mulih, mung kui sing iso tak kekno sliramu,
gowonen mulih sopo ngerti sok mben manak akeh iso dadi manfaat. Rasah di tolak,
kui rejeki soko Gusti, iki cempe mung siji, sing maringi bapak e thole mau, aku
wes ra sempet ngrumat wedhus. Ngrumat santri wae wes cukup ” (nak, aku gak
bisa balas apa-apa, tapi itu di depan ada cempe –anak kambing-, kamu
bawa pulang aja, siapa tau nanti bisa beranak pinak dan bisa bermanfaat. Jangan
ditolak, itu rejeki dari Tuhan, ini anak kambing cuma satu dari orang tua anak
tadi—yang tadi dipanggil. Aku udah gak sempat ngerawat anak kambing, cukup
ngerawat santri saja)
Zaid : “injih Mbah, matur nuwun, mugi kulo saget ngrumat cempe niki.
Sekalian bade pamit Mbah Yai” (Iya Mbah, terimakasih, semoga saya bisa
merawat anak kambing ini. Sekalian mau pamit Mbah Yai)
Zaid
berjabat tangan dengan Mbah Yai, kemudian salam dan pulang ke rumah membawa
seokor anak kambing.
Di perjalanan pulang Zaid bertemu
dengan Yatno seorang Blantik (penjual hewan). Yatno bertanya pada Zaid
perihal keperluannya dia dari pesantren. Zaid mencertakan keperluannya ke
pesantren dan ia cerita kalau Mbah Yai memberikan dia seekor kambing untuk dia
pelihara. Tiba-tiba muncul di benak Yatno “wah kalau Zaid aja ngasih
singkong diberi anak kambing, kalo aku ngasih kambing yang sehat dan gemuk,
pasti dikasih sapi sama pak yai.” Yatno segera bergegas pulang mengambil
kambingnya yang paling gemuk dan sehat ke Mbah yai.
Sesampainya di pondok pesantren
Yatno ketemu dengan Mbah Yai dengan membawa kambingnya paling besar dan sehat
Mbah Yai:
“Ono opo nang?” (ada apa nak?)
Yatno : “Mboten wonten nopo-nopo mbah, namung badhe silaturahim,
kalihan bade maringi niki, sapi-sapi kulo kaleh mendho kulo laku kathah,
itung-itung niki syukuran mbah, mbok menawi saget damel santri-santri ten
pondok, nopo damel konsumsi pengajian ten pondok”( tidak apa-apa mbah, Cuma
ingin silaturahmi, sama ingin ngasih ini -kambing- sapi-sapi saya dan kambing
saya laku banyak. Itung-itung niki damel syukuran mbah. mungkin nanti bisa
untuk santri-santri di pondok atau untuk konsumsi pengajian di pondok.)
Mbah Yai: “yo le,, tak tampi shodaqohmu. Alhamdulilah. Mugo-mugo
berkah, kebetulan sesuk are enek pengajian masyarakat neng pondok, sesuk ben di
beleh santri-santri kanggo konsumsi pengajian masyarakat lan santri-santri. Ben
pisan-pisan santri yo mangan enak le. Maturnuwun yo.. mbah ra iso mbales
opo-opo, sek ditunggu dilute. ” (Ya, aku terima shodaqahmu, Alhamdulillah,
semoga berkah, kebetulan besok mau ada pengajian masyarakat di pondok, besok
biar disembelih santri-santri buat konsumsi pengajian. Biar sesekali santri
biar makan enak. Terimakasih nak, mbah tidak bisa balas apa-apa, tunggu sebentar)
Tiba-tiba
Mbah Yai ke belakang, pikiran Yatno udah tidak karuan berharap mbah Yai
memberikan sesuatu yang lebih dari apa yang dia kasih. Dan tak lama kemudian
mbah Yai kembali membawa sesuatu di kantong plastik hitam. Pikiran Yatno mulai
berubah tapi ia meyakinkan kalau yang di kantong plastik hitam itu lebih
berharga dari kambing besar yang ia berikan tapi apa? Ia bingung. Mbah yai
duduk, si Yanto tersenyum lebar sambil penasaran sama yang dibawa mbah yai
Mbah yai: “Iki le onok telo, sakthik menowo engko neng omah iso
digodhok utowo digoreng, lumayan kanggo nyamik’an neng omah, kimau si Zaed bar
panenan, gowo telo sak kampli, syukuran jare. Wes mugo-mugo rejekine berkah, yo
Zaed ugo sliramu, ojo lali syukur marang Gusti ” (ini ada singkong, dikit mungkin
nanti di rumah bisa direbus atau digoreng, lumayan buat kudapan di rumah. Ini
tadi Zaid abis panenan, bawa singkong sekarung, buat syukuran katanya. Ya
semoga rejeki kalian berkah. Jangan lupa bersyukur pada Tuhan)
Yatno: “injih yai, amin, kulo bade pamit” (iya yai, amin, saya
mau pamit)
Yatno
beranjak berdiri dan senyum bersalaman dengan Kiai, kemudian beranjak pergi
dengan membawa sekantong plastik singkong dengan ekspresi 180 derajat berbeda
ketika di depan Kiai, muka masam dan
penuh penyesalan.
Sekian.
Ini cerita yang sering sekali saya dengar ketika di pesantren dan ketika ada pengajian yang membahas tentang Ikhlas. Apa hikmah dibalik cerita ini? Monggo dishare, berbagi lewat kolom komentar
Terimakasih.
AdibrizaDokumentasi Pribadi saat pengajian di Rumah, di Pondok Pesantred Darul Ulum, Sanggrahan , Gondang, Nganjuk |
Waduh basa jawanya keren. Mpok jadi rada keder dah. Untung ada translet nyah.
ReplyDeleteIkhlas itu pelajaran yang harus ditempuh seumur hidup.
Belajar memberi tanpa berharap mendapatkan balasan. Kalaupun mendapatkan balasan, apa pun itu harus diterima dengan senang hati. Namanya rezeki, besar atau kecil harus disyukuri :)
ReplyDeleteIlmu iklas memang suliiit banget untuk dipelajari dan diamalkan. Nice story!
ReplyDeleteTwitter @nurulrahma
Semua itu dari niat, ya. Kalau niatnya baik pasti akan berbuah baik. :)
ReplyDelete