Tuesday, 30 November 2010

II. Pengertian Rasm Al-Qur’an

Istilah rasm al-Qur’an terdiri dari dua kata: rasm dan al-Qur’an. Rasm merupakan bentuk infinitif (al-mashdar) dari kata kerja rasama yarsamu, yang berarti menggambar atau melukis dan juga berarti bentuk tulisan. Dapat juga diartikan a¬l-atsar, ‘alamah. Sedangkan al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Dengan perantara malaikat Jibril yang ditulis dalam mushaf-mushaf dan disampaikan kepada kita secara mutawatir (oleh orang banyak), mempelajarinya merupakan amal-ibadah, dimulai dengan surat alfȃtiḥah dan ditutup oleh surat an-Nȃs. Rasm al-Qur’an berarti bentuk tulisan al-Qur’an. Para ulama lebih cenderung menamainya dengan istilah rasmul Mushaf. Ada pula yang menyebut rasm al-Qur’an dengan rasm ‘Usmany dikarenakan istilah ini lahir bersamaan dengan lahirnya mushaf ‘Utsman, yaitu mushaf yang ditulis oleh panitia empatyang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-‘Ash, dan Abdurrahman bin al-Harits yang ditulis dengan kaidah-kaidah tertentu. Para ulama meringkas kaidah-kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu:
a) Al-Hadzf(membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alif pada ya’ nida’(يايّهاالنّاس), dari ha’ tanbih (هانتم), pada lafazh jalalah(الله)dan dari kata na (نا)(أنجينكم).
b) Al-dziyadah(penambahan), seperti penambahan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai hukum jama’(بنواإسرائيل) dan menambah alif setelah hamzah marsumah(hamzah yang terletak diatas tulisan wawu)(تالله تفتؤوا).
c) Al-Hamzah
Salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah ber-harakat sukun, ditulis dengan huruf ber-harakat yang sebelumnya, contohnya i’dzan(إئذن) dan u’tumin(اُؤتمن).
d) Badal (penggantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata الصلوة، الزكوة، الحيوة
e) Washal dan Fashl (penyambungan dan pemisahan), seperti kata kullu yang diiringi kata ma ditulis dengan disambung(كلّما)
f) Kata yang dapat dibaca dua bunyi penulisanya sesuai dengan salah satu bunyinya. Di dalam mushaf Usmani, penulisan kata seperti itu ditulis dengan menghilangkan alif, misalnya “mȃliki yaumiddin” (ملك يوم الدّين). Ayat di atas boleh dibaca dengan menetapkan alif (yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat (yakni dibaca satu alif).

III. Pendapat Ulama Tentang Rasm Al-Qur’an

Para ulama berbeda pendapat mengenai status rasm al-Qur’an (tata-cara penulisan al-Qur’an):
a. Sebagian dari mereka berpendapat bahwasanya rasm ‘ustmani itu bersifat tauqifi yakni bukan produk budaya manusia yang wajib diikuti siapa saja ketika menulis al-Qur’an dan harus sungguh disucikan. dengan kata lain mereka bahkan sampai pada tingkat menyakrakalnya. Mereka berargumen, bahwa Nabi SAW memiliki para penulis, yang bertugas menulis wahyu. Secara praktis, mereka menulis dengan rasm ini, dan hal itu mendapatkan pengakuan dari Nabi SAW, setalah masa Nabi berlalu, al-Qur’an masih ditulis seperti itu, tak mengalami perubahan dan pergantian. Untuk mendapatkan ini, mereka merujuk kepada sebuah riwayat yang menginformasikan bahwa Nabi meletakkan undang-undang yang bekenaan dengan wahyu, baik berkenaan dengan rasm ataupun lainnya , yang disampaikan kepada Mu’awiyah, salah seorang sekretarisnya.
الق الدواة، وحرّف القلم، وانصب الياء، وفرّق السين، ولاتعوّرالميم، وحسّن الله، ومدّالرّحمن، وجوّدالرّحيم، وضع قلمك على أذنك اليسرى، فإنّه أذكر لك
Artinya:
“Letakkanlah tinta, pergunakan pena, tegakkan”ba”, bedakan”sin”, jangan kamu miringkan “mim”, buat baguslah (tulisan) “Allah”, panjangkan (tulisan) “ar-Rahman”, dan buatlah bagus (tulisan) “ar-Rahim” dan letakkanlah penamu diatas telinga kirimu, karena itu akan membuat kamu lebih ingat” .
Mereka pun mengutip pernyataan Ibn al-Mubarak,
“Para sahabat dan orang lain tidak campur tangan seujung rambut pun dalam penulisan al-Qur’an, karena penulisan al-Qur’an adalah tauqifi, ketentuan dari nabi. Beliaulah yang menyuruh mereka menulisnya seprti dalam bentuknya yang dikenal, dengan menambah alif atau menguranginya karena ada rahasia-rahasia yang tidak dapat terjangkau oleh akal Misalnya, penambahan huruf ya’ pada kata iadin yang terdapat :”والسّمَاء بنينها بأيدٍ”(Q.S. 51:47). Itulah salah satu rahasia Allah yang diberikan kepada kitab-kitab-Nya yang mulia, yang tidak Dia berikan kepada kitab-kitab samawi lainnya. Sebagaimana susunan al-Qur’an adalah mukjizat, maka penulisannya pun juga mukjizat”.

b. Pendapat kedua yaitu mereka yang berpendapat bahwa rasm al-Qur’an itu bukan tauqifi, bukan ketetapan Nabi. Rasm Utsmani itu suatu cara penulisan yang disetujui oleh khalifah Utsman Ibn Affan dan diterima umat Islam dengan baik. Karenanya, menjadi keharusan yang wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar. Pendapat ini dipelopori oleh Qadhi Abu Bakar al-Baqilani. Pendapatnya antara lain terlihat dalam bukunya al-Inthishar, bahwa mengenai tulisan al-Qur’an, Allah sama sekali tidak mewajibkan kepada umat Islam dan tidak melarang para penulis al-Qur’an menggunakan rasm selain itu (Utsman). Apa yang dikatakan kewajiban itu hanya diketahui dari berita-berita yang didengar. “Kewajiban” itu tidak terdapat dalam nash al-Qur’an, dan tidak ada pula pengertian yang mengisyaratkan bahwa rasm al-Qur’an dan pencatatannya hanya boleh dilakukan dengan bentuk khusus atau dengan cara tertentu yang tidak boleh ditinggalkan. Tidak ada nash Hadits khusus yang mewajibkan dan meng demikian pula syaratkan hal itu. Demikian pula dengan ijma’ul unmmah (kebulatan pendapat umat islam). Bahkan sunah Rasullullah menunjukkan dibolehkannya penulisan al-Qur’an dengan rasm yang paling mudah. beliau memerintahkan penulisannya tanpa menjelaskan bentuk tulisan (rasm) tertentu, dan beliau tidak melarang siapa pun menulis al-Qur’an. Karena itulah sehingga bentuk tulisan mushaf berbeda-beda. Karena itu boleh saja al-Qur’an ditulis dengan huruf kufiy. Boleh saja huruf laam ditulis mirip huruf kaaf, huruf alif dibengkokokan penulisanya, atau ditulis dengan bentuk-bentuk huruf yang lain. Jadi, menurut pendapat kedua ini al-Qur’an boleh saja ditulis dengan tulisan dan huruf hija zaman kuno, dan boleh juga ditulis dengan huruf hija dan bentuk tulisan yang sudah diperbarui.

Pendapat pertama mengandung penghormatan kepada rasm Utsman yang berlebih-lebihan, karena mengada-ngadakan pengertian dengan cara dipaksa-paksakan dan hanya berlandaskan pada emosi. Atas dorongan perasaan sufisme mereka menyerahkan persoalan pada selera batin, padahal selera adalah nisbi (relatif), tidak ada kaitanya dengan agama dan tidak bisa dijadikan dasar untuk menarik kesimpulan tentang kebenaran hukum syara’. Tidak logislah bila dikatakan bahwa soal rasm (huruf dan tulisan) Qur’an itu tauqif, yakni atas tuntutan, petunjuk dan persetujuan langsung dari Rasullullah SAW. Beliau pun tidak pernah sama sekali menyatakan adanya rahasia di dalam kandungan huruf-huruf terpisah yang mengawali surah-surah. Hadits Rasullullah mengenai hal tersebut perlu diteliti kebenarannya.

Yang benar ialah bahwa penulis mushaf (panitia empat) sepakat menggunakan istilah rasm al-Qur’an. Dan istilah itu disetujui khalifah, bahkan khalifah Utsman menetapkan pedoman yang harus diindahkan oleh para penulis mushaf bila terjadi perbedaan pendapat.

Subhi as-Shalih tidak sepakat dengan pendapat kedua yang dilontarkan oleh Al-Baqilani. Tentang kebolehan menulis al-Qur’an dengan rasm kuno, namun ia sepakat dengan pendapat Al-‘Izz Bin ‘Abdus-Salam yang mengatakan bahwa dewasa ini penulisan mushaf tidak boleh berdasarkan rasm kuno yang telah disepakati oleh para imam masa dulu, agar tidak mengakibatkan hilangnya ilmu-ilmu agama Islam. Ini berarti a-Qur’an seharusnya ditulis dengan cara yang lazim dikenal pada zamanya. Bukan berarti rasm usmani yang lama harus ditiadakan. Jika ditiadakan, hal ini akan merusak lambang keagamaan besar yang telah disepakati bulat oleh seluruh umat islam, yang dapat menyelamatkan umat daari perpecahan, karena mushaf Utsman merupakan salah satu cara untuk memelihara persatuan dan kesatuan umat Islam atas dasar satu syiar dan satu istilah.

IV. Bentuk Tulisan, I’rab, I’jam dalam Al-Qur’an

A. Bentuk tulisan dan ‘irab yang digunakan
Bangsa Arab menggunakan khat hijri dalam tulis-menulis pada masa pra-islam. Barulah pada masa Rasulullah saw hingga abad dua hijriah, al-Qur’an ditulis dengan khat yang lazim dikenal dengan nama khat kufi.Tulisan tersebut tida disertai tanda baca atau harakat-harakat seperti tulisan yang kita kenal sekarang.

Untuk mengantisipasi kesalahan dan kerusakan, serta untuk membantu dan memudahkan pembacaan al-Qur’an bagi orang awam, Abu Aswad ad-Du’ali membuat dasar-dasar ilmu bahasa Arab dengan petunjuk dari Ali bin Abi Thalib. Selanjutnya ia membuat titik-titik pada huruf Arab atas perintah dari khalifah Abdul Malik bin Marwan. Sampai pada akhirnya muncul penemu ilmu ‘arudh, yakni Khalil bin Ahmad al-Farihidi, yang membuat bentuk-bentuk penulisan sebagai cara pengucapan huruf-huruf bahasa Arab, seperti mad, tasydid, fathah, kasrah, dammah, sukun, dan tanwin.

B. I’jam dalam al-Qur’an
I’jam al-Qur’an adalah pembedaan huruf yang sama dengan meletakkan titik-titik seperti huruf sin dan syin . Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang mulai adanya penitikan atau peng-i’jam-an huruf. Ada yang menilai bahwa penitikan telah dikenal sebelum islam. Ada juga yang menilai bahwa titik baru dikenal setelah itu, yakni di tangan Abu Aswad Ad-Du’aly pada zaman Malik bin Marwan.
V. Problema Qira’ah dan Tujuh Huruf dalam al-Qur’an

Beberapa riwayat menjelaskan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf.Sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w,”Sesungguhnya al-Qur’an itu telah diturunkan atas tujuh huruf ,maka bacalah apa-apa yang mudah dari al-Qur’an itu”(H.R.Bukhari).
Beberapa pendapat tentang arti kata tujuh huruf :
• Mayoritas ‘ulama : tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna (qurays,hudzail ’tsaqif, hawazin, kinanah, tamim dan yaman) pendapat lain dari Abu Hatim as-Sijistani (qurays, hudzail, tamim, azad, rabi’ah, hawazin, dan sa’ad bin bakr)
• Pendapat lain : tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa Arab di mana al-Qur’an diturunkan ,maksudnya adalah tujuh huruf yang bertebaran diberbagai surat al-Qur’an.
• Sebagian ‘ulama : tujuh huruf adalah tujuh wajah (amr, nahi, wa’d, wa’id, jadal, qashas, matsal)
• Segolongan ulama : tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang di dalamnya terdapat ikh.tilaf (perbedaan),yaitu:
- Ikhtilaful asma : bentuk mufrad,mudzakkar,dan cabang-cabangnya, tasniyah, jama’, dan ta’nis.
- Perbedaan dalam segi i’rab.
- Perbedaan tasrif
- Perbedaan taqdim dan ta’khir.
- Perbedaan segi ibdal.
- Perbedaan karena adanya penambahan dan pengurangan.
- Perbedaan lahjah (tafkhim,tarqiq,fathah,imalah,idzhar,idhgam hamzah,dan tashil isymam)
• Sebagian ulama : bilangan tujuh itu tidak diartikan secara harfiah,tetapi hanya sebagai lambng kesempurnaan menurut kebiasaan orang Arab.
• Segolongan ulama : tujuh huru tersebut adalah qira’at sab’ah.
Pendapat terkuat dari semua pendapat di atas adalah pendapat pertama,yang dipilih oleh Sufyan bin ‘Uyainah ,Ibnu Jarir,Ibnu Wahab,serta Ibn ‘abdil Barr menisbatkan pendapat ini kepada sebagian ulama.

0 comments:

Post a Comment

terimakasih ^_^