Tuesday, 31 May 2016

Di Indonesia semua yang berbeda diajari rendah hati
Jawa tak merasa mulia dari Papua
Islam tak jumawa dari agama lainnya

Jika Abasiyah merasa mulia dari Umayyah
biarlah itu terjadi di Saudi Arabiyah
Di sini, Madura bisa ngopi bersama dg Batak dan Sunda

Jika Sunni-Syiah bertengkar di Syuriah
Di Indonesia Kalian berdua harus tertawa berjamaah

Di sini kalian makan Nasi
dari keringat petani



Saya awali tulisan ini dengan kutipan dari NUgarislucu (IG/Twitter) sebagai bahan renungan awal bahwa kita terlahirkan sebagai warga Indonesia yang hidup dalam keberagaman dan keberagamaan. Hidup dalam masyarakat yang beraneka suku dan budaya yang berbeda-beda dan saling berinteraksi satu sama lainnya. Nah berawal dari sebuah diskusi di kelas beberapa saat yang lalu dengan Prof. Dr. Suryadi M.Ag, salah satu guru besar Ilmu Hadis di kampus saya, dalam mata kuliah hadis-hadis keindonesiaan yang membahas tentang seluk-beluk hadis yang banyak digunakan di Indonesia entah dalam literatur-literatur, pemikiran tokoh bahkan pemikiran organisasi tertentu tentang hadis. Tapi bukan fokus pada itu yang akan saya bahas, melainkan diskusi kecil di luar tema kuliah pada saat itu. 

Ia pernah berkata bahwa kedewasaan seseorang salah satunya tergantung bagaimana ia dapat menyikapi sebuah perbedaan. Dalam hidup manusia, pada tahap awal pendidikannya ia selalu diajarkan kesamaan-kesamaan dalam kehidupan. Misalkan dalam konteks pendidikan agama, orang tua selalu mengajarkan ajaran sesuai dengan "aliranya" yang satu ngajarin sholat subuh pakai Qunut dan yang lain tidak, yang lain pakai kabiran wal hambulillah...dst. yang satu pakai allahumma ba'id baini...dst. 

Namun lambat laun seseorang itu perlu diajarkan perbedaan-perbedaan, terutama saat masa menginjak dewasa, saat-saat anak sudah mulai berfikir kritis, tidak tanpa alasan hal itu diperlukan, salah satu tujuannya agar tidak terjadi yang disebut dengan klaim kebenaran tunggal, merasa dirinya yang paling benar dan yang lain salah. Dalam konteks intern dalam beragama misalnya ketika seseorang hanya belajar dari satu sisi saja, belajar dari satu perspektif saja, maka ia akan mudah kaget bahwa di sana ada perspektif lain dalam memahami dan mengamalkan sebuah ibadah, banyak lah contohnya--bisa direnungi sendiri-- bagaimana dampaknya jika terjadi bila seseorang merasa dirinya paling benar dan yang lain salah. Dalam konteks yang lebih luas lagi yakni berbangsa dan bernegara, nilai-nilai belajar dari sebuah perbedaan sepertinya adalah sebuah keniscayaan. Kita hidup di bangsa yang mempunyai budaya, agama, ras, suku, bahasa yang heterogen (beraneka ragam). Ditambah jauh sebelum terbentuknya "pancasila" Indonesia sudah hidup dengan--meminjam istilah dari Gus Dur yakni "pancasila tanpa nama" yang tertuang dalam ungkapan empu Tantular dari kerajaan Majaapahit dalam kitab Sutasoma yang berbunyi "Bhinneka Tunggal Ika". Satu kata dari Pak Suryadi yang saya jadikan catatan penting saat itu adalah "bila anda menganggap yang paling benar, berarti orang-orang sebelum anda adalah salah." 

Mengutip dari pengalaman hidup Buya HAMKA: Semakin Tinggi Ilmunya, Semakin Sedikit Menyalahkan Orang Lain - Buya HAMKA- “Iya, dulu sewaktu saya muda kitabnya baru satu. Namun setelah saya mempelajari banyak kitab, saya sadar ternyata ilmu Islam itu sangat luas.” Nah fenomena yang selalu menganggap ia paling benar sendiri itu mungkin yang dibaca baru satu, dua buku. Mungkin yang sukanya marah-marah itu belum ada satu buku, mengutip pendapat Gus mus "mungkin dalam membaca kitab tentang akhlaq/ baru sampe bab Ghodob (marah) sudah berhenti, padahal selanjutnya masih ada bab rahmah (kasih sayang)" hehe

Terakhir dari Muhammad bin Alwi al- Maliki Al-Hasani yang perlu direnungi dan diresapi: “Idzaa zaada nadzrurrajuli wattasa’a fikruhuu qalla inkaaruhuu ‘alannaasi.” (Jika seseorang bertambah ilmunya dan luas cakrawala pemikiran serta sudut pandangnya, maka ia akan sedikit menyalahkan orang lain)

Yogyakarta 31 Mei 2016
adibriza


4 comments:

  1. Karena menyikapi perbedaan itu susah. Antara bisa toleransi atau berpegang teguh sama prinsip diri sendiri :(

    ReplyDelete
  2. Perbedaan adalah warna yang bisa memberikan keindahan,,

    ReplyDelete
  3. Kalau kita hidup di indonesia ya memang mau tidak mau harus bisa menghargai perbedaan. Karena Indonesia bisa menjadi besar juga karena perbedaan itu sendiri. Bahkan dengan perbedaan pula membuat lingkungan sosial kita lebih berwarna.

    ReplyDelete

terimakasih ^_^