Friday 23 February 2018

Membahas tentang pesantren, tentu tidak bisa lepas dari sejarah Islamisasi Jawa. Artinya pertama kali Islam masuk Jawa dan belum mempunyai komunitas, maka tidak serta-merta langsung ada sebuah tempat yang disebut pesantren. Dengan kata lain, pesantren itu muncul setelah Islam itu berkembang dan memiliki komunitas, sehingga muncul sebuah kebutuhan akan sebuah lembaga sebagai tempat memperdalam ilmu Islam.
Tapi justru karena inilah para penulis sejarah pesantren tidak mendapatkan kepastian kapan lembaga ini muncul pertama kali. Menurut catatan Martin Van Bruinessen, pesantren dalam pengertian yang lazim dikenal pada abad sembilan belas, yang paling tua adalah pesantren Tegal Sari di Ponorogo yang berdiri tahun 1743.
Sebelum masa itu, pendidikan pendidikan tentang Islam dilakukan di rumah-rumah dan di masjid. Sedangkan pesantren sendiri lebih tepat disebut sebagai pendidikan Islam tingkat lanjut, maksudnya misi awal didirikannya pesantren adalah sebagai tempat pendidikan bagi kader muslim yang betul-betul ingin mendalami Islam lewat naskah atau teks yang tidak didapat dari “Wejangan” sistem oral di masjid. Nurcholis Majid bahkan berandai-andai:

“Kalau Indonesia tidak dijajah, maka pesantrenlah yang akan menjadi Universitas di Indonesia.”

Hal ini karena menurutnya berdirinya berbagai universitas di Barat dimulai dari lembaga pendidikan agama dan lembaga ini di Indonesia berbentuk pesantren.

Lalu dari mana pesantren sebagai model pendidikan berasrama ini diadopsi?, Ternyata banyak juga pendapat. Perbedaan tentang asal-usul pesantren ini bahkan terkait dengan istilah “pesantren” itu sendiri yang berasal dari kata dasar “santri”. Kata “santri” sendiri tidak memiliki ikatan dengan bahasa Arab sebagai awal komunikasi Islam, melainkan lebih terkait dengan kultur Jawa. Kata “santri” konon lebih mengacu pada pada kata “santri” dalam bahasa Sansekerta, sebuah bahasa yang turur menjadi asal bahasa Jawa yang berarti “melek huruf”. Kata ini mengindikasikan bahwa dunia santri sangat erat dengan teks keagamaan dalam bentuk tulisan dan bahasa Arab. Kalau santri merujuk pada pengertian ini, maka pesantren berarti tempat pada santri beraktivitas, dalam hal ini aktivitas pembelajaran atas dasar teks. Ada juga yang berpendapat bahwa kata santri berasal dari kata “Cantrik” dalam bahasa Jawa yang berarti seseorang yang hidup bersama-sama dengan gurunya. Karena itulah sistem asrama menjadi salah satu ciri pendidikan pesantren. Di sana mereka belajar tentang teks keagamaan dan disana mereka hidup bersama-sama dengan guru mereka untuk belajar.
Atas dasar kedua cirikhas di atas, yakni pendidikan berbasis teks dan sistem asrama. Banyak pendapat yang dikembangkan terkait dengan pertanyaan dari mana model pendidikan pesantren ini diadopsi. Bagi yang melihat lebih pada sistem asrama (pondok) cenderung untuk menyatakan bahwa pesantren merupakan komunitas yang berasal dari lembaga Jawa yang lebih tua sebelum masuknya Islam di Jawa atau zaman pra-Islam yakni semacam lembaga asrama ,mandala, “padepokan” atau puguran dan lain-lain.
Salah satu bukti yang yang sering digunakan untuk mendukung pendapat ini bahwa di luar Jawa pesantren baru ada setelah masuk abad ke 20 karea meniru guru-guru mereka di jawa. Sampai abad tersebut konon pendidikan agama di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Lombok hanya dilakukan di rumah dan masjid. Jadi tidak membentuk lingkungan komunitas khusus dalam dalam satu lingkungan seperti dalam sistem asrama pesantren. Bagi mereka pesantren tidak lebih dari lembaga Jawa yang di-Islamkan yakni melalui alat dan sumber pembelajaran berupa buku-buku keislaman klasik berbahasa Arab. Keaslian pesantren sebagai lembaga khas Jawa ini pula menyebabkan sulitnya dicarikan lembaga yang sepadan di negara yang mayoritas penduduknya Islam manapun.
Sementara bagi yang melihat pesantren lebih pada bahan dan model pembelajarannya, yakni pembelajaran berbasis teks tertulis,mereka tidak cukup menerima pendapat pertama di atas. Bahwa sistem asrama tersebut sudah ada sebelum Islam dan masih bertahan hingga Islam datang tapi pembelajaran yang digunakan bukan seperti pembelajaran yang khas dari pesantren yang bertumpu pada teks tertulis. Bagi pandangan kedua ini betapapun mereka mengakui pesantren sebagai khas Jawa, tapi ada pengaruh dari dunia Internasional Islam. Dalam pendapat terakhir ini muncul beberapa pendapat tentang asal-usul model pesantren.
Bagi yang melihat teks keagamaan atau teks keislaman sebagai model pembelajaran pesantren cenderung bernuansa sufistik ditambah dengan berkembangnya tradisi sufisme (tarekat) di lingkungan pesantren dan tidak di lembaga pendidikan Islam lain cenderung mengatakan bahwa pesantren diadopsi dari India, karena ditilik dari adanya kesamaan jenis tarekat yang khas India yang berkembang di Indonesia. Di sisi lain juga adanya hubungan ekonomi dan sosial antara pemeluk Islam di Jawa dan  India.  Namun demikian perlu diperhatikan bahwa ada hal lain dalam kaitan dengan teks yang dijadikan bahan pembelajaran yang membedakan antara tradisi pembelajaran di India dengan yang berkembang di pesantren. Hal ini perlu dipertimbangan agar tidak terburu-buru dalam menyimpulkan bahwa sistem pembelajaran pesantren mutlak dari sistem India.
Sistem yang berbeda antara dua sistem di atas adalah dalam hal teks fikih dan filsafat. Di India apa abad-abad yang lalu saat dikuasai oleh Kekaisaran Moghul, teks-teks fikih yang dominan dalah fiqih madzhab Hanafi sedangkan teks-teks yang dominan di pesantren adalah fikih yang bermadzhab Syafi’i. Teks-teks kajian rasional dan metafisika juga menempati kedudukan yang menonjol di India, sedang di pesantren tidak muncul, apalagi kalau melihat realitas sejarah bahwa lembaga pendidikan di India sudah menggunakan model madrasah sejak ada Moghul ini.
Bertolak dari fakta pembelajaran yang orientasi tekstualisnya cukup kuat di pesantren, ada juga teori sementara pengamat bahwa pesantren sebagai lembaga tradisional Islam di Indonesia yang diadopsi dari Hijaz. Jika ini benar, maka kemungkinan terdekat adalah bahwa sistem pesantren di adopsi dari sistem pendidikan non-formal di Zawiyah Mekkah dan Madinah. Ini mengingat bahwa Zawiyah merupakan pusat aktivitas sekaligus tempat tinggal para pengikut tarekat, sedangkan madrasah di Hijaz kala itu merupakan lembaga pendidikan Islam formal yang dikelola imperium Usmani yang bermadzhab Hanafi dalam bidang fikih. Namun teori ini sangat lemah.
Menurut Martin, tidak banyaknya persamaan ragam kitab yang dikenal di Indonesia abad ke 16 sampai 18 dengan kitab yang digunakan dalam kurikulum madrasah Usmani di Hijaz mengindikasikan bahwa kecil kemungkinan adanya kaitannya antara pesantren dan madrasah di Hijaz. Biografi pada Ulama Indonesia yang belajar di Makkah pun menggambarkan dengan tokoh-tokoh independen di Masjidil Haram atau lainnya.
Terkahir adalah pendapat yang menyatakan bahwa sistem sistem pesantren memang merupakan semacam Islamisai terhadap lembaga asli di Jawa malalui suntikan kurikulum keislaman yang diadopsi dari pendidikan non-madrasah di Mesir. Sebagai sekedar bahan perbandingan antara kedua sistem di atas dapat di lihat dalam biografi intelektual para tokoh Islam Mesir yang mengalami masa kecil di abad 19. Banyak diantara mereka—untuk tidak mengatakan seluruhnya—melewati masa pendidikan agamanya di rumah sampai dengan khatam menghafal al-Qur’an kemudian mengikuti orang tua untuk diserahkan kepada orang yang diaggap memiliki kemampuan dalam beberapa cabang ilmu ke-Islaman sampai anak tersebut hafal beberapa kitab karya ulama abad pertengahan baik dalam bidang Akidah, Fiqih atau Sastra. Beberapa dari bahan ajar yang dihafal para peserta didik kemudian menjadi tokoh besar dalam Islam ternyata terdapat juga dalam kurikulum hafalan di banyak pesantren di Indonesia.
Terlepas dari pendapat mana yang paling tepat, satu hal yang dapat dicatat adalah bahwa berbeda dengan lembaga pendidikan madrasah atau sekolah umum, pesantren memiliki jati diri sebagai sebuah lembaga yang sukses dalam mengelaborasi unsur-unsur asli lokal yang baik dengan unsur ke-Islaman. Dengan ini pesantren dapat menjustifikasikan diri sebagai sebuah lembaga yang asli Jawa (Indonesia) tetapi ruh yang ditiupkan dalam kehidupan intelektualnya adalah Islam yang rahmatan lil álamin yang penuh semangat toleransi tanpa harus kehilangan dasar-dasar kebenaran keilmuan.
Inilah mengapa masyarakat pesantren lebih akrab dengan jargon:

al muhafadzatu álal qadimi shalih, wal akhdzu bil jadidi ashlah

Melestarikan nilai-nilai kebaikan di masa lalu,
seraya mengambil nilai-nilai yang baru yang lebih baik

Prinsip ini harus menjadi pegangan komunitas pesantren dalam mensikapi perubahan apapun yang terjadi dalam lingkungan internal maupun lingkungan eksternal di masa lalu, kini dan mendatang. Pesantren tidak pernah tinggal diam dalam mendorong partisipasi aktif dalam proses perubahan sosial dalam masyarakat, jika kemauam, kemampuan dan kemungkinan individual ikut berperan serta dengan sungguh-sungguh.

Sowan ke Pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawir Komplek L


Sumber:
Muh Mansur, “Dari Pesantren Berbasis Kultur Perdesaaan sampai Pesantren Mahasiswa” dalam Meraih Prestasi di Perguruan Tinggi.
Manfred Zeimek, Pesantren dalam Perubahan Sosial. Terj. Butche B Soendjojo.
Karel A. Steeenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah.

Habib Chirzin, Ilmu dan Agama dalam Pesantren.

Semoga bermanfaat, Saya tulis di Nganjuk 25 Januari 2016

0 comments:

Post a Comment

terimakasih ^_^