Membahas tentang pesantren, tentu tidak bisa
lepas dari sejarah Islamisasi Jawa. Artinya pertama kali Islam masuk Jawa dan
belum mempunyai komunitas, maka tidak serta-merta langsung ada sebuah tempat
yang disebut pesantren. Dengan kata lain, pesantren itu muncul setelah Islam
itu berkembang dan memiliki komunitas, sehingga muncul sebuah kebutuhan akan
sebuah lembaga sebagai tempat memperdalam ilmu Islam.
Tapi justru karena inilah para penulis sejarah
pesantren tidak mendapatkan kepastian kapan lembaga ini muncul pertama kali.
Menurut catatan Martin Van Bruinessen, pesantren dalam pengertian yang lazim
dikenal pada abad sembilan belas, yang paling tua adalah pesantren Tegal Sari
di Ponorogo yang berdiri tahun 1743.
Sebelum masa itu, pendidikan pendidikan
tentang Islam dilakukan di rumah-rumah dan di masjid. Sedangkan pesantren
sendiri lebih tepat disebut sebagai pendidikan Islam tingkat lanjut, maksudnya
misi awal didirikannya pesantren adalah sebagai tempat pendidikan bagi kader
muslim yang betul-betul ingin mendalami Islam lewat naskah atau teks yang tidak
didapat dari “Wejangan” sistem oral di masjid. Nurcholis Majid bahkan
berandai-andai:
“Kalau
Indonesia tidak dijajah, maka pesantrenlah yang akan menjadi Universitas di
Indonesia.”
Hal ini
karena menurutnya berdirinya berbagai universitas di Barat dimulai dari lembaga
pendidikan agama dan lembaga ini di Indonesia berbentuk pesantren.
Lalu dari mana pesantren sebagai model pendidikan berasrama ini
diadopsi?, Ternyata banyak juga pendapat. Perbedaan tentang asal-usul pesantren
ini bahkan terkait dengan istilah “pesantren” itu sendiri yang berasal dari
kata dasar “santri”. Kata “santri” sendiri tidak memiliki ikatan dengan bahasa
Arab sebagai awal komunikasi Islam, melainkan lebih terkait dengan kultur Jawa.
Kata “santri” konon lebih mengacu pada pada kata “santri” dalam bahasa
Sansekerta, sebuah bahasa yang turur menjadi asal bahasa Jawa yang berarti
“melek huruf”. Kata ini mengindikasikan bahwa dunia santri sangat erat dengan
teks keagamaan dalam bentuk tulisan dan bahasa Arab. Kalau santri merujuk pada
pengertian ini, maka pesantren berarti tempat pada santri beraktivitas, dalam
hal ini aktivitas pembelajaran atas dasar teks. Ada juga yang berpendapat bahwa
kata santri berasal dari kata “Cantrik” dalam bahasa Jawa yang berarti
seseorang yang hidup bersama-sama dengan gurunya. Karena itulah sistem asrama
menjadi salah satu ciri pendidikan pesantren. Di sana mereka belajar tentang
teks keagamaan dan disana mereka hidup bersama-sama dengan guru mereka untuk
belajar.
Atas dasar kedua cirikhas di atas, yakni pendidikan berbasis teks
dan sistem asrama. Banyak pendapat yang dikembangkan terkait dengan pertanyaan
dari mana model pendidikan pesantren ini diadopsi. Bagi yang melihat lebih pada
sistem asrama (pondok) cenderung untuk menyatakan bahwa pesantren merupakan
komunitas yang berasal dari lembaga Jawa yang lebih tua sebelum masuknya Islam
di Jawa atau zaman pra-Islam yakni semacam lembaga asrama ,mandala, “padepokan”
atau puguran dan lain-lain.
Salah satu bukti yang yang sering digunakan untuk mendukung
pendapat ini bahwa di luar Jawa pesantren baru ada setelah masuk abad ke 20
karea meniru guru-guru mereka di jawa. Sampai abad tersebut konon pendidikan
agama di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Lombok hanya dilakukan di rumah dan
masjid. Jadi tidak membentuk lingkungan komunitas khusus dalam dalam satu
lingkungan seperti dalam sistem asrama pesantren. Bagi mereka pesantren tidak
lebih dari lembaga Jawa yang di-Islamkan yakni melalui alat dan sumber
pembelajaran berupa buku-buku keislaman klasik berbahasa Arab. Keaslian
pesantren sebagai lembaga khas Jawa ini pula menyebabkan sulitnya dicarikan
lembaga yang sepadan di negara yang mayoritas penduduknya Islam manapun.
Sementara bagi yang melihat pesantren lebih pada bahan dan model
pembelajarannya, yakni pembelajaran berbasis teks tertulis,mereka tidak cukup
menerima pendapat pertama di atas. Bahwa sistem asrama tersebut sudah ada
sebelum Islam dan masih bertahan hingga Islam datang tapi pembelajaran yang
digunakan bukan seperti pembelajaran yang khas dari pesantren yang bertumpu
pada teks tertulis. Bagi pandangan kedua ini betapapun mereka mengakui
pesantren sebagai khas Jawa, tapi ada pengaruh dari dunia Internasional Islam.
Dalam pendapat terakhir ini muncul beberapa pendapat tentang asal-usul model
pesantren.
Bagi yang melihat teks keagamaan atau teks keislaman sebagai model
pembelajaran pesantren cenderung bernuansa sufistik ditambah dengan berkembangnya
tradisi sufisme (tarekat) di lingkungan pesantren dan tidak di lembaga
pendidikan Islam lain cenderung mengatakan bahwa pesantren diadopsi dari India,
karena ditilik dari adanya kesamaan jenis tarekat yang khas India yang
berkembang di Indonesia. Di sisi lain juga adanya hubungan ekonomi dan
sosial antara pemeluk Islam di Jawa dan
India. Namun demikian perlu
diperhatikan bahwa ada hal lain dalam kaitan dengan teks yang dijadikan bahan
pembelajaran yang membedakan antara tradisi pembelajaran di India dengan yang
berkembang di pesantren. Hal ini perlu dipertimbangan agar tidak terburu-buru
dalam menyimpulkan bahwa sistem pembelajaran pesantren mutlak dari sistem
India.
Sistem yang berbeda antara dua sistem di atas adalah
dalam hal teks fikih dan filsafat. Di India apa abad-abad yang lalu saat
dikuasai oleh Kekaisaran Moghul, teks-teks fikih yang dominan dalah fiqih
madzhab Hanafi sedangkan teks-teks yang dominan di pesantren adalah fikih yang
bermadzhab Syafi’i. Teks-teks kajian rasional dan metafisika juga menempati
kedudukan yang menonjol di India, sedang di pesantren tidak muncul, apalagi
kalau melihat realitas sejarah bahwa lembaga pendidikan di India sudah
menggunakan model madrasah sejak ada Moghul ini.
Bertolak dari fakta pembelajaran yang orientasi
tekstualisnya cukup kuat di pesantren, ada juga teori sementara pengamat bahwa
pesantren sebagai lembaga tradisional Islam di Indonesia yang diadopsi dari
Hijaz. Jika ini benar, maka kemungkinan terdekat adalah bahwa sistem pesantren
di adopsi dari sistem pendidikan non-formal di Zawiyah Mekkah dan
Madinah. Ini mengingat bahwa Zawiyah merupakan pusat aktivitas sekaligus
tempat tinggal para pengikut tarekat, sedangkan madrasah di Hijaz kala itu
merupakan lembaga pendidikan Islam formal yang dikelola imperium Usmani yang
bermadzhab Hanafi dalam bidang fikih. Namun teori ini sangat lemah.
Menurut Martin, tidak banyaknya persamaan ragam kitab
yang dikenal di Indonesia abad ke 16 sampai 18 dengan kitab yang digunakan
dalam kurikulum madrasah Usmani di Hijaz mengindikasikan bahwa kecil
kemungkinan adanya kaitannya antara pesantren dan madrasah di Hijaz. Biografi
pada Ulama Indonesia yang belajar di Makkah pun menggambarkan dengan
tokoh-tokoh independen di Masjidil Haram atau lainnya.
Terkahir adalah pendapat yang menyatakan bahwa sistem
sistem pesantren memang merupakan semacam Islamisai terhadap lembaga asli di
Jawa malalui suntikan kurikulum keislaman yang diadopsi dari pendidikan
non-madrasah di Mesir. Sebagai sekedar bahan perbandingan antara kedua sistem
di atas dapat di lihat dalam biografi intelektual para tokoh Islam Mesir yang
mengalami masa kecil di abad 19. Banyak diantara mereka—untuk tidak mengatakan
seluruhnya—melewati masa pendidikan agamanya di rumah sampai dengan khatam
menghafal al-Qur’an kemudian mengikuti orang tua untuk diserahkan kepada orang
yang diaggap memiliki kemampuan dalam beberapa cabang ilmu ke-Islaman sampai
anak tersebut hafal beberapa kitab karya ulama abad pertengahan baik dalam
bidang Akidah, Fiqih atau Sastra. Beberapa dari bahan ajar yang dihafal para
peserta didik kemudian menjadi tokoh besar dalam Islam ternyata terdapat juga
dalam kurikulum hafalan di banyak pesantren di Indonesia.
Terlepas dari pendapat mana yang paling tepat, satu
hal yang dapat dicatat adalah bahwa berbeda dengan lembaga pendidikan madrasah
atau sekolah umum, pesantren memiliki jati diri sebagai sebuah lembaga yang
sukses dalam mengelaborasi unsur-unsur asli lokal yang baik dengan unsur
ke-Islaman. Dengan ini pesantren dapat menjustifikasikan diri sebagai sebuah
lembaga yang asli Jawa (Indonesia) tetapi ruh yang ditiupkan dalam kehidupan
intelektualnya adalah Islam yang rahmatan lil álamin yang penuh semangat
toleransi tanpa harus kehilangan dasar-dasar kebenaran keilmuan.
Inilah mengapa masyarakat pesantren lebih akrab dengan
jargon:
“al muhafadzatu álal qadimi shalih, wal
akhdzu bil jadidi ashlah”
Melestarikan nilai-nilai kebaikan di masa lalu,
seraya mengambil nilai-nilai yang baru yang lebih baik
Prinsip ini harus menjadi pegangan komunitas pesantren
dalam mensikapi perubahan apapun yang terjadi dalam lingkungan internal maupun
lingkungan eksternal di masa lalu, kini dan mendatang. Pesantren tidak pernah
tinggal diam dalam mendorong partisipasi aktif dalam proses perubahan sosial dalam
masyarakat, jika kemauam, kemampuan dan kemungkinan individual ikut berperan
serta dengan sungguh-sungguh.
Sowan ke Pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawir Komplek L |
Sumber:
Muh Mansur, “Dari Pesantren Berbasis Kultur Perdesaaan sampai Pesantren
Mahasiswa” dalam Meraih Prestasi di Perguruan Tinggi.
Manfred Zeimek, Pesantren dalam Perubahan Sosial. Terj. Butche B
Soendjojo.
Karel A. Steeenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah.
Habib Chirzin, Ilmu dan Agama dalam Pesantren.
Semoga bermanfaat, Saya tulis di Nganjuk 25 Januari 2016
0 comments:
Post a Comment
terimakasih ^_^